
SAMADE – Jumlah penduduk dunia akan terus bertumbuh tiaap tahun. Kebutuhan akan minyak nabati pun mau tak mau akan terus meningkat. Bahkan, diprediksi padatahun 2050, dunia akan membutuhkan minyak nabati mulai 60 juta sampai 170 juta ton.
Laman litbang.pertanian.go.id yang diakses SAMADE, Minggu (4/7/2021), menyebutkan kebutuhan akan minyak nabati yang terus meningkat ini juga sekaligus untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat dan dengan pola konsumsi yang juga berubah.
Menghadapi permintaan yang diprediksi dalam jumlah besar ini, dunia disebut-sebut hanya punya pilihan akan memenuhinya dari myak kedelai atau dari sawit. Jika ekspansi kebun kedelai yang dipilih, maka dunia perlu mengonversi hutan seluas 120-340 juta hektar (ha). Artinya, akan terjadi deforestasi besar-besaran.
Namun, jika ekspansi kebun sawit yang dipilih, dunia hanya perlu mengonversi sepersepuluh dari perkiraan jumlah lahan perkebunan kedelai. Atau, hanya sekitar 12-34 juta ha. Ini berarti meminimalkan terjadinya deforestasi.
Perkiraan ini bisa menjadi peluang bagi perkembangan perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia. Dengan demikian, skema usaha dan manajemen perkebunan sawit yang berkelanjutan semakin penting dipeluas penerapannya.
Implikasi dari ini, maka dukungan politis dari pemerintah secara nyata sangat dibutuhkan. Sejauh ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat skema sawit yang berkelanjutan dan memiliki concern yang kuat terhadap berbagai sisi.
Termasuk di dalamnya persoalan sistem perizinan dan manajemen kebun, penerapan teknis budidaya, pemantauan lingkungan, tanggungjawab terhadap pekerja, pemberdayaan ekonomi masyarakat, tanggungjawab sosial komunitas, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Upaya keras pembuatan dan penerapan perumusan skema perkebunan sawit berkelanjutan telah mampu menghasilkan prestasi sebagai negara dengan porsi sertifikasi minyak sawit yang berkelanjutan yang terbesar di dunia.
Dari seluruh produksi minyak sawit bersertfikat dunia, Indonesia menyumbang 59 persen, sedangkan Malaysia hanya 27 persen.
Memang harus diakui ada banyak permasalahan saat ini yang dihadapi komoditas kelapa sawit, utamanya soal status penguasaan lahan kebun. Diperkirakan ada 1,7 juta ha lahan sawit rakyat saat ini belum berstatus clean and clear, baik dari status hukum penguasaan maupun peruntukan lahannya.
Ada lebih kurang 13,5 persen (1,5 juta ha) lahan sawit saat ini berada di lokasi lahan gambut. Deforestasi karena ekspansi sawit juga tidak dapat diabaikan.
Nah, menghadapi berbagai tantangan ini, Litbang Kementerian Pertanian menyebutkan dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan.
Adaoun dukungan kebijakan yang dibutuhkan seperti(1) kebijakan peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat melalui program replanting, (2) kebijakan penyediaan bibit sawit yang bersertifikat, (3) kebijakan peningkatan akses finansial pekebun rakyat melalui program sertifikasi lahan rakyat, (4) kebijakan peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi.
Lalu, (5) kebijakan stabilisasi harga melalui peningkatan pasar domestik dan pasar kawasan, (6) kebijakan diplomasi dan kerjasama investasi dan perdagangan, (7) kebijakan perbaikan infrastruktur dan fasilitasi perdagangan, (8) kebijakan data dan informasi, serta terakhir, (9) dibutuhkan kebijakan penguatan organisasi petan dan pelaku usaha.